Selasa, 26 Maret 2013

Tugas 2 Hukum Perjanjian Internasional FH-UA 2013


Tugas Hukum Perjanjian Internasional

1. Sebutkan dasar hukum yang memberikan ruang untuk hukum kebiasaan internasional dalam Konvensi Wina !
2. Sebutkan dasar hukum yang mengakui adanya Non-Wirtten Form dikaitkan dengan “The Eastern Greenland Case” !

Jawaban          :
1. Dasar Hukum yang memberikan keleluasaan hukum kebiasaan internasional dalam Konvensi Wina:
Pada “Pembukaan Konvensi Wina” :
“Affirming that the rules of customary international  law will continue to govern questions not regulated by the provisions of the present Convention.”[1]
Disini dijelaskan bahwa aturan-aturan hukum kebiasaan internasional akan terus berlaku, meskipun tidak diatur secara tertulis oleh ketentuan-ketentuan dari Konvensi Wina. Disini terbukti bahwa Konvensi Wina memberikan ruang bagi Hukum Kebiasaan Internasional untuk berlaku.

2. Dasar Hukum yang mengakui adanya Non-Wirtten Form disebutkan pada Konvensi Wina yaitu pada Pasal 3:
Article 3
International agreements  not within the scope
of the present Convention

The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between States and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international  agreements not in written form, shall not affect:
( a )  the legal force of such agreements;
( b )  the application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would be subject under international law independently of the Convention;
( c )  the application of the Convention to the relations of States as between themselves under international agreements to which other subjects of international la w are also parties.[2]

Disini dijelaskan pada Pasal 3 Konvensi Wina bahwa perjanjian internasional yang tidak dalam bentuk tertulis, tidak akan mempengaruhi kekuatan hukum perjanjian tersebut. Sehingga dengan kata lain, Konvensi Wina mengakui adanya Non-Written Form dan tetap berlaku mengikat.

The Eastern Greenland Case :
Kasus Posisi   :
Pada 12 Juli 1919, Menteri Luar Negeri Norwegia, M. Ihlen, mengeluarkan deklarasi bahwa Pemerintah Denmark tidak mempersoalkan klaim Norwegia atas Spitzbergen dan Pemerintah Denmark memiliki kedaulatan penuh atas Greenland untuk menjalankan kepentingan politik dan ekonomi di seluruh Greenland dan tidak akan memperoleh kesulitan apapun dari Pemerintah Norwegia untuk menjalankan kepentingan tersebut. Deklarasi ini dikenal dengan Deklarasi Ihlen.
Pada tahun 1920, Pemerintah Denmark berusaha untuk mendapatkan jaminan atas pengakuan kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland. Dalam negosiasi yang terjadi antara Pemerintah Denmark, Swedia dan Norwegia di London, Paris, Roma dan Tokyo, Pemerintah Denmark tidak mendapatkan kesulitan dalam negosiasi tersebut dengan Pemerintah Swedia, akan tetapi lain halnya dengan negosiasi yang dilakukan dengan Pemerintah Norwegia, karena Pemerintah Norwegia menuntut agar Pemerintah Denmark tidak boleh mengintervensi kebebasan penduduk Norwegia yang telah mereka nikmati saat ini. Yakni kebebasan berburu dan memancing ikan di pantai timur (di luar batas daerah Angmagssalik). Namun Pemerintah Denmark tidak bersedia mengabulkan tuntutan Pemerintah Norwegia ini dengan alasan, tuntutan ini bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Denmark atas Greenland. Sampai akhir 1921, hubungan diplomatik Pemerintah Denmark dan Norwegia menyangkut Greenland terus dipertanyakan karena status Greenland yang tidak jelas. Hal ini berlangsung selama 2 tahun.
Pada tanggal 13 Juli 1923, Menteri Luar Negeri Denmark memberitahukan kepada Pemerintah Denmark mengenai resolusi Pemerintah Norwegia yang mengajak Pemerintah Denmark untuk melakukan negosiasi mengenai Greenland. Pemerintah Denmark menerima resolusi yang dilakukan oleh Pemerintah Norwegia untuk melakukan negosiasi mengenai Greenland.
Pada bulan September 1923, negosiasi dimulai dan membahas mengenai pertanyaan umum seputar Greenland, akan tetapi tidak dicapai kesepakatan dalam negosiasi ini.
Pada tanggal 28 Januari 1924, negosiasi dilakukan lagi mengenai persetujuan konsep kesepakatan yang direkomendasikan untuk diadopsi oleh masing-masing pihak. Konsep ini terbagi atas dua, yaitu :
• Dari Pemerintah Denmark
“ Denmark memiliki kedaulatan penuh atas seluruh Greenland yang harus diakui oleh Norwegia.”
• Dari Pemerintah Norwegia
“ Semua bagian Greenland yang tidak pernah dipakai dalam kondisi terra nullius yaitu daerah yang secara efektif tidak berada di bawah administrasi Pemerintah Denmark harus tunduk di bawah kedaulatan Norwegia.”
Pada tanggal 9 Juli 1924, terjadi penandatanganan konvensi yang berlaku untuk seluruh pantai timur Greenland kecuali di daerah Angmagssalik.
Pada tahun 1925, Inggris dan Perancis meminta Pemerintah Denmark untuk memberikan layanan ke Norwegia menyangkut beberapa daerah tertentu di Greenland timur yang telah ditentukan oleh Pemerintah Denmark. Maka diadakan pertukaran dua dokumen antara Norwegia dan Denmark. Dari adanya pertukaran dokumen tersebut, Pemerintah Norwegia menyimpulkan bahwa Inggris dan Perancis mengetahui bahwa Norwegia tidak mengakui kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland. Kesimpulan yang ditarik oleh Pemerintah Norwegia ini tidak pernah diberitahukan pada Pemerintah Denmark sehingga setelah pertukaran dokumen itu, Pemerintah Denmark tidak pernah lagi mempertanyakan kedaulatannya atas pantai timur Greenland.
Pada awal musim panas 1930, angkatan laut Norwegia diberi kekuasaan untuk melakukan pemeriksaan atau pengawasan atas nama Norwegia tentang perburuan di daerah pantai timur Greenland. Denmark menjadi gelisah atas tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Norwegia ini dan memberikan maklumat pada Pemerintah Norwegia secara tertulis pada tanggal 26 Desember 1930, bahwa Pemerintah Denmark tidak menyetujui pemberian kewenangan terhadap angkatan laut Norwegia dalam melakukan pengawasan di wilayah tertentu, di mana dalam pandangan Denmark, wilayah tersebut merupakan wilayah Denmark.
Pada tanggal 6 Januari 1931, Pemerintah Norwegia menjawab maklumat pemerintah Denmark bahwa sesuai dengan kesepakatan 9 Juli 1924, daerah-daerah di Timur Greenland adalah sebuah daerah terra nullius, sehingga Norwegia berhak sepenuhnya untuk berinvestasi di wilayah tersebut.
Pada tanggal 3 juli 1931, Denmark memberikan balasan atas jawaban pemerintah Norwegia tersebut. Denmark menilai Norwegia telah melakukan tindakan yang melebihi batas yang ditentukan dalam konvensi 1924, serta menilai bahwa pemerintah Norwegia tidak konsisten menerapkan konvensi tersebut, yang menyangkut kedaulatan penuh pemerintah Denmark atas seluruh Greenland. Denmark mengusulkan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara damai ke PCIJ kepada pemerintah Norwegia.
Pemerintah Nowergia setuju, dan pada tanggal 1 Juli 1931 meminta agar Mahkamah harus mengadili berdasarkan situasi dan keadaan serta hukum yang selama ini berlaku. Pengadilan harus memutuskan bahwa kedaulatan atas Greenland belum diperoleh Denmark.
Pada tanggal 10 Juli 1931, dalam kutipan catatannya Pemerintah Denmark mengharapkan perkara diperiksa sesuai dengan situasi dan keadaan serta hukum yang selama ini berlaku. Mengenai permintaan Pemerintah Norwegia pada tanggal 1 Juli 1931 kepada Mahkamah, menurut Pemerintah Denmark merupakan tindakan sepihak Pemerintah Norwegia dan mengharap tindakan tersebut tidak akan mempengaruhi keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan.[3]

Pihak yang terlibat    : Pemerintah Denmark dan Norwegia
· Pemerintah Denmark, diwakili oleh M. de Scavenius, Menteri Denmark di Den Haag, dan MK Steglich-Peterson, advokat di Mahkamah Agung Denmark.
· Pemerintah Norwegia, diwakili oleh M. Jens Bull, Kanselor dari kedutaan, dan oleh MM. Arne Sunde dan Per Rygh, advokat di Mahkamah Agung Norwegia.[4]
Yurisprudensi            :
Penasehat Denmark menyatakan bahwa Deklarasi Ihlen adalah bentuk pengakuan akan adanya kedaulatan Denmark atas Greenland. Pengadilan tidak dapat menerima pandangan ini. Pemeriksaan yang teliti yang dilakukan berdasarkan penggunaan kata-kata yang digunakan, berdasarkan keadaan, dan berdasarkan perkembangan yang terjadi selanjutnya menunjukkan bahwa M. Ihlen tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan yang pasti atas kedaulatan Denmark terhadap Greenland, dan juga menunjukkan bahwa M. Ihlen tidak memahami maksud Pemerintah Denmark.
Dalam laporan M. Ihlen yang dilaporkan pada pemerintah Norwegia, tidak dipermasalahkan oleh Pemerintah Denmark. Kalimat yang digunakan oleh Ihlen dituliskan dalam bentuk future tense. Ne fera pas de difficulties. M. Ihlen telah diberitahukan bahwa Pemerintah Denmark akan membawa masalah tersebut : dan dua tahun kemudian, Pemerintah Denmark membuat permintaan berikutnya pada Pemerintah Norwegia untuk memperoleh pengakuan yang Pemerintah Denmark inginkan atas kedaulatan seluruh Greenland.
Walaupun demikian, hal yang betul-betul harus dipertimbangkan adalah apakah Deklarasi Ihlen, - meskipun tidak menetapkan pengakuan yang pasti akan kedaulatan Denmark – tidak terdapat perjanjian yang pasti dari Norwegia untuk menahan diri terhadap pendudukan sebagian wilayah Greenland.
Sikap pemerintah Denmark terhadap masalah Spitzbergen yang diklaim oleh Norwegia dan masalah kedaulatan Greenland yang diklaim oleh Pemerintah Denmark sendiri, menurut Denmark saling ketergantungan. Dan ketergantungan ini juga dimunculkan dalam laporan M. Ihlen. Bahkan jika ketergantungan ini tidak terlaksana atau tidak ada maka tidak dapat disangkal bahwa apa yang diminta oleh Pemerintah Denmark sama halnya dengan klaim Norwegia atas Spitzbergen. Apa yang Denmark inginkan dari Norwegia seharusnya tidak menghalangi rencana Denmark yang berkaitan dengan Greenland. Deklarasi yang diberikan Menteri Luar Negeri Norwegia pada tanggal 22 Juli 1919, atas nama Pemerintah Norwegia, dengan pasti setuju : “ Saya berbicara dengan Kementerian Denmark hari ini, bahwa Pemerintah Norwegia tidak akan mempersulit penyelesaian masalah ini.”
Pengadilan mempertimbangkannya di luar dari semua sengketa bahwa jawaban yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri atas nama Pemerintahannya melalui perwakilan diplomatik bahwa Menlu memiliki kekuasaan ke luar dalam hal permasalahan yang berada di lingkup kekuasaannya akan mengikat negaranya.
Berdasarkan hal itu, sebagai hasil dari keikutsertaan dalam Deklarasi Ihlen tanggal 22 Juli 1919, Norwegia berkewajiban untuk menahan diri dalam hal menentang kedaulatan Denmark terhadap keseluruhan Greenland, dan untuk menahan diri dari pendudukan sebagian wilayah Denmark.[5]
Keterkaitan antara The Eastern Greenland Case dengan Vienna Conventions :
The Eastern Greenland Case ini berkaitan dengan Article 3 dari Vienna Convention 1969. Dalam pasal 3 Vienna Conventions 1969 dijelaskan bahwa “Perjanjian internasional yang tidak dalam bentuk tertulis, tidak akan mempengaruhi kekuatan hukum perjanjian tersebut, sehingga tetap berlaku mengikat.” Sehingga Deklarasi yang diberikan Menteri Luar Negeri Norwegia pada tanggal 22 Juli 1919, atas nama Pemerintah Norwegia, tetap berlaku dan mengikat.

Keterkaitan Non-Written Form dengan Buku Modern Treaty Law and Practice oleh Anthony Aust adalah :
Hukum Kebiasaan Internasional dan Non-Written Form terdiri atas 2 unsur, yaitu :
“A general convergence in the practice of states from which one can extract a norm (standard of conduct) and Opinio Juris - the belief by states that the norm is legally binding on them.”[6]
1.      Konvergensi umum dalam praktek negara yang dapat mengaplikasikan norma (standar perilaku).
2.      Pendapat Ahli Hukum yaitu keyakinan dengan menyatakan bahwa norma mengikat secara hukum pada mereka.
Sehingga, Non-Written Form dalam perjanjian Internasional, tetap diakui




[1] http://untreaty.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/1_1_1969.pdf
[2] ibid.
[3] http://misharahanafi.blogspot.com/
[4] ibid.
[5] ibid.
[6] See M. Shaw, International Law (4th edn, 1998). pp 54-77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar