Selasa, 26 Maret 2013

Tugas 1 Hukum Perjanjian Internasional FH-UA 2013


Tugas Hukum Perjanjian Internasional

1. Berilah analisis terhadap Yurisprudensi ICJ (International Court of Justice) terkait dengan pengakuan subjek hukum internasional !
2. Apakah setiap pemberontak (insurgent) dapat disebut sebagai belligerent ?
3. Berilah contoh dari insurgent dan belligerent !
4. Buatlah resume dari buku Hukum Perjanjian Internasional hal 1-38 !

Jawaban          :
1. International Court of Justice tentang Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Kasus Posisi    :
Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia, berawal pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, ternyata Indonesa dan Malaysia bersama-sama memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. [1]
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh.

Pihak yang terlibat      : Indonesia dan Malaysia
Putusan ICJ                 : Terlampir
Yurisprudensi              :
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3]

2. Setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent karena untuk dapat diakui sebagai belligerent sebagai subjek hukum interbnasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Memiliki sebuah organisasi “pemerintahan” sendiri.
2.      Kekuatan militernya telah menduduki wilayah tertentu.
3.      Mempunyai kontrol efektif atas wilayah tersebut.
4.      Anggota militernya memiliki seragam dengan tanda-tanda khusus dengan peralatan militer yang cukup.
Memang, insurgent adalah awal mula pembentukan belligerent. Namun setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent jika belum memenuhi unsur-unsur tersebut.

3.         Contoh Insurgent :
Gerakan Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001.
Kelompok Taliban dibentuk pada tahun 1994 mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakistan. Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan kelompok ini karena kejahatannya terhadap warga negara Iran dan Afghanistan. Taliban melakukan berbagai aksi pelanggaran HAM di Afghanistan.[4]
Kelompok ini mendapat pengakuan diplomatik hanya dari tiga negara: Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi, serta pemerintah Republik Chechnya Ichkeria yang tidak diakui dunia. Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk Mullah Mohammed Omar, pemimpin gerakan ini, adalah mullah desa (pelajar yunior agama Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah di Pakistan. Gerakan ini terutama berasal dari Pashtun di Afganistan, serta Provinsi Perbatasan Barat Laut (North-West Frontier Province, NWFP) di Pakistan, dan juga mencakup banyak sukarelawan dari Arab, Eurasia, serta Asia Selatan.[5]
Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden yang juga dituduh Washington mendalangi serangan terhadap menara kembar WTC, New York pada tanggal 11 September 2001 bekerja sama dengan kubu Aliansi Utara. Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan November 2001 dengan secara mengejutkan sehingga pihak Taliban langsung keluar dari ibukota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika relatif cepat dan mudah menguasainya. Akan tetapi beberapa tahun setelahnya American Free Press mengungkapkan hal sebaliknya, yaitu keterlibatan CIA dan agen intelijen Israel, Mossad dalam peristiwa serangan 11 September 2001 hanyalah skenario untuk mengakuisisi negara-negara arab, dalam hal ini Irak dan Afghanistan.[6]

Contoh Belligerent :
Palestine Liberation Organisation atau disingkat (PLO) atau dapat disebut sebagai Organisasi Pembebasan Palestina adalah sebuah organisasi Palestina yang didirikan pada tahun 1964. Tujuan utama dari PLO adalah untuk menyuarakan aspirasi rakyat Palestina dalam jumlah besar yang hidup di tenda-tenda pengungsi di Lebanon.[7]
Sejak tahun 1967 tujuan utama dari PLO adalah dalam rangka menghancurkan negara Israel. Hal ini kemudian ditegaskan pada piagam PLO yang di buat di Kairo pada tanggal 10-17 Juli 1968 pada pertemuan Dewan Nasional Palestina, tujuan ini tertuang dalam Pasal 9 Piagam PLO.[8]
Palestine Liberation Organisation (PLO) pada mulanya dibentuk oleh Liga Arab pada tahun 1964. Akibatnya 1964-1967, PLO sebagian besar di bawah kendali negara-negara Arab. Namun, setelah perang enam hari pada tahun 1967, negara-negara Arab mengendalikan PLO sehingga akhirnya mereka banyak kehilangan legitimasi. Akhirnya,Yasir Arafat, dari organisasi al-Fatah, mengambil keuntungan dari kekosongan kekuasaan dan terpilih menjadi Ketua PLO pada tahun 1969 hingga meninggal pada tahun 2004. Organisasi ini mengusahakan sebuah negara Palestina di antara Laut Tengah dan Yordania.[9]
Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organisation (PLO) telah mendapat pengakuan dari dunia internasional. PLO mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB pada 1974 (Resolusi Sidang Umum no. 3237). Dengan pengakuan terhadap Negara Palestina, PBB mengubah status peninjau ini sehingga dimiliki oleh Palestina pada 1988 (Resolusi Sidang Umum no. 43/177.) Pada Juli 1998, Sidang Umum menerima sebuah resolusi baru (52/250) yang memberikan kepada Palestina hak-hak dan privilese tambahan, termasuk hak untuk ikut serta dalam perdebatan umum yang diadakan pada permulaan setiap sesi Sidang Umum, hak untuk menjawab, hak untuk ikut mensponsori resolusi dan hak untuk mengajukan keberatan atau pertanyaan yang berkaitan dengan pembicaraan dalam rapat (points of order) khususnya menyangkut masalah-masalah Palestina dan Timur Tengah.

4. Resume dari Buku Hukum Perjanjian Internasional (Damos) hal 1-38 :
BAB I PENDAHULUAN
A. Perkembangan Hukum Perjanjian Internasional di Indonesia
            Hukum Perjanjian Internasional sebagai cabang dari Hukum Internasional masih kurang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Beberapa orang berpendapat bahwa Ilmu Hukum Perjanjian Internasional, hanyalah untuk kalangan tertentu saja. Selain itu mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional juga belum termasuk dalam mata kuliah wajib nasional di beberapa Fakultas Hukum di Indonesia.
Dewasa ini, Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Indonesia semakin meningkat jumlahnya.[10] Hal ini disebabkan karena disiplin ilmu hukum di Indonesia memiliki keterlibatan yang erat terhadap perjanjian internasional. Seperi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, maupun Hukum ekonomi.
Seiring dengan pesatnya era globalisasi, perkembangan hukum internasional pun telah mengalami perubahan-perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek-subjek baru non-negara dan meningkatnya interaksi yang intensif antar subjek-subjek baru tersebut. Disebabkan oleh perubahan mendasar tersebut, semakin berpeluang lahirnya perkara-perkara hukum yang bersifat lintas negara. Sehingga hukum perjanjian internasional telah mengikat di semua sektor kehidupan manusia.
Globalisasi di bidang perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan pula pola hubungan yang lintas batas negara, sehingga mengharuskan adanya pemahaman terhadap hukum perjanjian internasional. Hukum Internasional juga telah menyediakan dasar hukum bagi perjanjian internasional seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional, Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional dan organisasi internasional, serta Konvensi Wina 1978 tentang suksesi negara terkait perjanjian internasional.
Indonesia belum atau tidak meratifikasi konvensi-konvensi ini, karena pada dasarnya konvensi-konvensi ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional sehingga akan tetap mengikat Indonesia dengan atau tanpa meratifikasinya. Sebagai contoh dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002.[11] Dengan ini, ratifikasi hanya bersifat formalitas saja dan sama sekali tidak akan mengubah sifat mengikat konvensi terhadap Indonesia.

B. Perkembangan Dasar Hukum Nasional tentang Perjanjian Internasional
            Sejak Kemerdekaan, hukum Indonesia telah mengatur secara umum tentang perjanjian internasional. Dalam UUD 1945, diatur satu pasal tentang perjanjian internasional pada pasal 11 yaitu :
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.”
Pada masa berlakunya UUD 1945 periode pertama (1945-1949), tercatat empat perjanjian internasioanal. Selain itu, pada periode ini, Indonesia juga sudah melakukan prosedur administratif dengan mendaftarkan perjanjian ke sekretaris Jendral PBB. Perjanjian Internasional pertama yang dibuat oleh Indonesia adalah Perjanjian Linggarjati.
            Pada tahun 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) juga memuat pasal tentang perjanjian internasional, yaitu pada pasal 175. Pada periode ini tercatat setidaknya satu perjanjian internasional yang dibuat oleh RIS, yaitu Additional Protocol to the Trade Agreement among RIS, Netherland and Italy.
            Pada tahun 1950, dalam UUDS juga memuat ketentuan tentang perjanjian internasional pada pasal 120. Selama periode ini, tercatat sekitar 150 perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Indonesia.
            Meskipun ketiga konstitusi tersebut memuat rumusan yang berbeda tentang perjanjian internasional, namun esensi pengaturannya tetaplah sama. Yaitu menekankan bahwa kewenangan membuat dan mengesahkan perjanjian internasional adalah di tangan presiden sebagai kepala negara dengan persetujuan DPR.
            Setahun setelah berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan surat No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960 yang berisi bahwa perjanjian internasional yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah mengandung materi sebagai berikut :
1.      Hal-hal politik yang mempengaruhi haluan politik luar negeri.
2.      Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri negara.
3.      Hal-hal yang menurut UUD harus diatur dengan undang-undang.
Gagasan untuk membuat undang-undang tentang perjanjian internasional akhirnya terwujud dengan adanya UU No. 37 tahun 1999 dengan karakteristik sebagai berikut :
a.       Praktis.
b.      Korektif.
c.       Non-Doctrinal.
d.      Non-Theoretical/Academic Basis.
Dalam amandemen ketiga, Pasal 11 UUD 1945 mendapat tambahan dua ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3). Namun tidak ada penjelasan formal tentang apa yang dimaksudkan dengan “perjanjian internasional lainnya”. Jimly Asshiddiqie mengartikannya sebagai persetujuan internasional yang berkenaan dengan pinjaman luar negeri yang berjangka panjang.[12]
Perubahan terhadap pasal 5 dan 20 UUD 1945 juga telah menimbulkan benturan yuridis, karena di satu pihak pembuatan perjanjian merupakan kekuasaan eksklusif Presiden dengan persetujuan DPR, namun di lain pihak pengesahan perjanjian dilakukan dengan undang-undang yang merupakan kekuasaan DPR.


BAB II Pengertian Perjanjian Internasional
A. Definisi Perjanjian Internasional
Terdapat beberapa perdebatan mengenai definisi perjanjian internasional, namun dari UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang telah diadopsi dari Konvensi Wina 1969 dan 1986 dengan beberapa modifikasi adalah sebagai berikut :
“Setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.”
Dari pengertian hukum ini terdapat beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus dipenuhi, antara lain :
1.      Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional.
2.      Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional.
3.      Perjanjian tersebut harus tunduk pada hukum internasional. (governed by international law).
UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional berupaya mengklarifikasi tentang pengertian governed by international law dengan menambahkan kalimat “serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Namun Prof. Ko Swan Sik menilai bahwa kalimat tambahan ini tidak diperlukan karena perbedaan hubungan publik dan perdata hanya dikenal di dalam hukum nasional dan belum dikenal dalam hukum internasional.[13]

B. Pengertian Perjanjian Internasional dan Perkembangannya di Indonesia
Setelah lahirnya UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian, namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “governed by international law” sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian ini pada hakikatnya tidak menciptakan kewajiban dan hubungan hukum.
            Dalam definisi tentang Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri, diindikasikan bahwa pemerintah RI dapat membuat perjanjian dengan pemberi pinjaman, yang dalam hal ini mungkin Bank Swasta Asing, Lembaga Keuangan Non-Pemerintah Asing, serta Lembaga Donor Swasta lainnya. Lembnaga-lembaga ini jelas bukan subjek hukum internasional dan dengan demikian perjanjian pinjaman dengan lembaga-lembaga ini bukan merupakan perjanjian yang menjadi lingkup UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

C. Kaitan Pengertian Perjanjian Internasional dan Nama (Nomenklatur) dalam Praktik Indonesia
Di sisi lain, terdapat kecenderungan pada publik di Indonesia untuk menggunakan parameter nomenklatur atau judul dokumen sebagai faktor penentu untuk menetapkan bahwa dokumen itu disebut sebagai perjanjian internasional. Pada Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960 dimaksudkan untuk membedakan perjanjian intenasional berdasarkan kriteria materi perjanjian sehingga dapat menyaring perjanjian-perjanjian yang perlu mendapatkan persetujuan DPR.
Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait, serta dampak politis dan hukum bagi para pihak tersebut. Adapun bentuk dan nama perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
a. Traktat (Treaty) adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang umumnya bersifat multilateral.
b. Konvensi (Convention) adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang bersifat multilateral.
c. Persetujuan (Agreement) adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat bilateral dengan substansi yang lebih kecil lingkupnya dibanding materi yang diatur dalam Treaty atau Convention.
d. Memorandum of Understanding adalah perjanjian yang tidak formal yang tidak membutuhkan prosedur yang ruwet serta “tidak terlalu mengikat”.
e. Pengaturan (Arrangement) adalah bentuk lain dari perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari suatu perjanjian yang telah ada.
f. Pertukaran Nota Diplomatik / Surat (Exchange of Notes/Letters) adalah suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi pemerintah masing-masing yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu.
g. Modus Vivendi adalah instrumen kesepakatan yang bersifat sementara dan informal.
h. Agreed Minutes/ Summary Records/Record of Discussion adalah suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan tentang hasil akhir atau hasil sementara dari suatu pertemuan teknis.
Sekalipun Konvensi Wina dan yurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai faktor penentu, perlu pula diperhatikan bahwa judul suatu perjanjian sangat dinamis dan memunculkan berbagai variasi. Walau judul dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan perjanjian internasional dimaksudkan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Meskipun dalam UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau nomenklatur, namun pada umumnya telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur tertentu untuk ruang lingkup materi tertentu.
Sehubungan dengan itu, maka perlu dilanjutkan proses yang berkesinambungan untuk memverifikasi dan menetapkan jenis perjanjian internasional.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan
[2] http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN, jointly notified to the Court on 2 November 1998
[3] Energy Security and Southeast Asia
[4] Susilo, Taufik Adi. Ensiklopedia Pengetahuan Dunia Abad 20. Javalitera. Yogyakarta 2010. Halaman 391
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Taliban
[6] American Free Press, http://www.americanfreepress.net/html/9-11_solved118.html
[7] Pasal 27 Piagam HAMAS.
[8] http://www.us-Israel.org/jsource/Terrorism/plo.html
[9] “Profil Terorist Organitation “Palestine Liberation Organitation (PLO)”, Lihat dalam; http://www.start.umd.edu
[10] Menurut catatan Treaty Room Deplu, sampai Desember 2009 telah tercatat sekitar 4000 perjanjian yang dibuat oleh Indonesia.
[11] ICJ Cas Concerning Soverignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, 17 December 2002 para 37.
[12] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, 2010 halaman 189
[13] Ko Swan Sik, “Beberapa Catatan atas Permasalahan Treaty di Indonesia”’ Jurnal Hukum Internasional, LPHI FH UI, Vol. 5, No. 3, April 2008, hlm. 434.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar