Selasa, 26 Maret 2013

Tugas 2 Hukum Perjanjian Internasional FH-UA 2013


Tugas Hukum Perjanjian Internasional

1. Sebutkan dasar hukum yang memberikan ruang untuk hukum kebiasaan internasional dalam Konvensi Wina !
2. Sebutkan dasar hukum yang mengakui adanya Non-Wirtten Form dikaitkan dengan “The Eastern Greenland Case” !

Jawaban          :
1. Dasar Hukum yang memberikan keleluasaan hukum kebiasaan internasional dalam Konvensi Wina:
Pada “Pembukaan Konvensi Wina” :
“Affirming that the rules of customary international  law will continue to govern questions not regulated by the provisions of the present Convention.”[1]
Disini dijelaskan bahwa aturan-aturan hukum kebiasaan internasional akan terus berlaku, meskipun tidak diatur secara tertulis oleh ketentuan-ketentuan dari Konvensi Wina. Disini terbukti bahwa Konvensi Wina memberikan ruang bagi Hukum Kebiasaan Internasional untuk berlaku.

2. Dasar Hukum yang mengakui adanya Non-Wirtten Form disebutkan pada Konvensi Wina yaitu pada Pasal 3:
Article 3
International agreements  not within the scope
of the present Convention

The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between States and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international  agreements not in written form, shall not affect:
( a )  the legal force of such agreements;
( b )  the application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would be subject under international law independently of the Convention;
( c )  the application of the Convention to the relations of States as between themselves under international agreements to which other subjects of international la w are also parties.[2]

Disini dijelaskan pada Pasal 3 Konvensi Wina bahwa perjanjian internasional yang tidak dalam bentuk tertulis, tidak akan mempengaruhi kekuatan hukum perjanjian tersebut. Sehingga dengan kata lain, Konvensi Wina mengakui adanya Non-Written Form dan tetap berlaku mengikat.

The Eastern Greenland Case :
Kasus Posisi   :
Pada 12 Juli 1919, Menteri Luar Negeri Norwegia, M. Ihlen, mengeluarkan deklarasi bahwa Pemerintah Denmark tidak mempersoalkan klaim Norwegia atas Spitzbergen dan Pemerintah Denmark memiliki kedaulatan penuh atas Greenland untuk menjalankan kepentingan politik dan ekonomi di seluruh Greenland dan tidak akan memperoleh kesulitan apapun dari Pemerintah Norwegia untuk menjalankan kepentingan tersebut. Deklarasi ini dikenal dengan Deklarasi Ihlen.
Pada tahun 1920, Pemerintah Denmark berusaha untuk mendapatkan jaminan atas pengakuan kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland. Dalam negosiasi yang terjadi antara Pemerintah Denmark, Swedia dan Norwegia di London, Paris, Roma dan Tokyo, Pemerintah Denmark tidak mendapatkan kesulitan dalam negosiasi tersebut dengan Pemerintah Swedia, akan tetapi lain halnya dengan negosiasi yang dilakukan dengan Pemerintah Norwegia, karena Pemerintah Norwegia menuntut agar Pemerintah Denmark tidak boleh mengintervensi kebebasan penduduk Norwegia yang telah mereka nikmati saat ini. Yakni kebebasan berburu dan memancing ikan di pantai timur (di luar batas daerah Angmagssalik). Namun Pemerintah Denmark tidak bersedia mengabulkan tuntutan Pemerintah Norwegia ini dengan alasan, tuntutan ini bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Denmark atas Greenland. Sampai akhir 1921, hubungan diplomatik Pemerintah Denmark dan Norwegia menyangkut Greenland terus dipertanyakan karena status Greenland yang tidak jelas. Hal ini berlangsung selama 2 tahun.
Pada tanggal 13 Juli 1923, Menteri Luar Negeri Denmark memberitahukan kepada Pemerintah Denmark mengenai resolusi Pemerintah Norwegia yang mengajak Pemerintah Denmark untuk melakukan negosiasi mengenai Greenland. Pemerintah Denmark menerima resolusi yang dilakukan oleh Pemerintah Norwegia untuk melakukan negosiasi mengenai Greenland.
Pada bulan September 1923, negosiasi dimulai dan membahas mengenai pertanyaan umum seputar Greenland, akan tetapi tidak dicapai kesepakatan dalam negosiasi ini.
Pada tanggal 28 Januari 1924, negosiasi dilakukan lagi mengenai persetujuan konsep kesepakatan yang direkomendasikan untuk diadopsi oleh masing-masing pihak. Konsep ini terbagi atas dua, yaitu :
• Dari Pemerintah Denmark
“ Denmark memiliki kedaulatan penuh atas seluruh Greenland yang harus diakui oleh Norwegia.”
• Dari Pemerintah Norwegia
“ Semua bagian Greenland yang tidak pernah dipakai dalam kondisi terra nullius yaitu daerah yang secara efektif tidak berada di bawah administrasi Pemerintah Denmark harus tunduk di bawah kedaulatan Norwegia.”
Pada tanggal 9 Juli 1924, terjadi penandatanganan konvensi yang berlaku untuk seluruh pantai timur Greenland kecuali di daerah Angmagssalik.
Pada tahun 1925, Inggris dan Perancis meminta Pemerintah Denmark untuk memberikan layanan ke Norwegia menyangkut beberapa daerah tertentu di Greenland timur yang telah ditentukan oleh Pemerintah Denmark. Maka diadakan pertukaran dua dokumen antara Norwegia dan Denmark. Dari adanya pertukaran dokumen tersebut, Pemerintah Norwegia menyimpulkan bahwa Inggris dan Perancis mengetahui bahwa Norwegia tidak mengakui kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland. Kesimpulan yang ditarik oleh Pemerintah Norwegia ini tidak pernah diberitahukan pada Pemerintah Denmark sehingga setelah pertukaran dokumen itu, Pemerintah Denmark tidak pernah lagi mempertanyakan kedaulatannya atas pantai timur Greenland.
Pada awal musim panas 1930, angkatan laut Norwegia diberi kekuasaan untuk melakukan pemeriksaan atau pengawasan atas nama Norwegia tentang perburuan di daerah pantai timur Greenland. Denmark menjadi gelisah atas tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Norwegia ini dan memberikan maklumat pada Pemerintah Norwegia secara tertulis pada tanggal 26 Desember 1930, bahwa Pemerintah Denmark tidak menyetujui pemberian kewenangan terhadap angkatan laut Norwegia dalam melakukan pengawasan di wilayah tertentu, di mana dalam pandangan Denmark, wilayah tersebut merupakan wilayah Denmark.
Pada tanggal 6 Januari 1931, Pemerintah Norwegia menjawab maklumat pemerintah Denmark bahwa sesuai dengan kesepakatan 9 Juli 1924, daerah-daerah di Timur Greenland adalah sebuah daerah terra nullius, sehingga Norwegia berhak sepenuhnya untuk berinvestasi di wilayah tersebut.
Pada tanggal 3 juli 1931, Denmark memberikan balasan atas jawaban pemerintah Norwegia tersebut. Denmark menilai Norwegia telah melakukan tindakan yang melebihi batas yang ditentukan dalam konvensi 1924, serta menilai bahwa pemerintah Norwegia tidak konsisten menerapkan konvensi tersebut, yang menyangkut kedaulatan penuh pemerintah Denmark atas seluruh Greenland. Denmark mengusulkan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara damai ke PCIJ kepada pemerintah Norwegia.
Pemerintah Nowergia setuju, dan pada tanggal 1 Juli 1931 meminta agar Mahkamah harus mengadili berdasarkan situasi dan keadaan serta hukum yang selama ini berlaku. Pengadilan harus memutuskan bahwa kedaulatan atas Greenland belum diperoleh Denmark.
Pada tanggal 10 Juli 1931, dalam kutipan catatannya Pemerintah Denmark mengharapkan perkara diperiksa sesuai dengan situasi dan keadaan serta hukum yang selama ini berlaku. Mengenai permintaan Pemerintah Norwegia pada tanggal 1 Juli 1931 kepada Mahkamah, menurut Pemerintah Denmark merupakan tindakan sepihak Pemerintah Norwegia dan mengharap tindakan tersebut tidak akan mempengaruhi keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan.[3]

Pihak yang terlibat    : Pemerintah Denmark dan Norwegia
· Pemerintah Denmark, diwakili oleh M. de Scavenius, Menteri Denmark di Den Haag, dan MK Steglich-Peterson, advokat di Mahkamah Agung Denmark.
· Pemerintah Norwegia, diwakili oleh M. Jens Bull, Kanselor dari kedutaan, dan oleh MM. Arne Sunde dan Per Rygh, advokat di Mahkamah Agung Norwegia.[4]
Yurisprudensi            :
Penasehat Denmark menyatakan bahwa Deklarasi Ihlen adalah bentuk pengakuan akan adanya kedaulatan Denmark atas Greenland. Pengadilan tidak dapat menerima pandangan ini. Pemeriksaan yang teliti yang dilakukan berdasarkan penggunaan kata-kata yang digunakan, berdasarkan keadaan, dan berdasarkan perkembangan yang terjadi selanjutnya menunjukkan bahwa M. Ihlen tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan yang pasti atas kedaulatan Denmark terhadap Greenland, dan juga menunjukkan bahwa M. Ihlen tidak memahami maksud Pemerintah Denmark.
Dalam laporan M. Ihlen yang dilaporkan pada pemerintah Norwegia, tidak dipermasalahkan oleh Pemerintah Denmark. Kalimat yang digunakan oleh Ihlen dituliskan dalam bentuk future tense. Ne fera pas de difficulties. M. Ihlen telah diberitahukan bahwa Pemerintah Denmark akan membawa masalah tersebut : dan dua tahun kemudian, Pemerintah Denmark membuat permintaan berikutnya pada Pemerintah Norwegia untuk memperoleh pengakuan yang Pemerintah Denmark inginkan atas kedaulatan seluruh Greenland.
Walaupun demikian, hal yang betul-betul harus dipertimbangkan adalah apakah Deklarasi Ihlen, - meskipun tidak menetapkan pengakuan yang pasti akan kedaulatan Denmark – tidak terdapat perjanjian yang pasti dari Norwegia untuk menahan diri terhadap pendudukan sebagian wilayah Greenland.
Sikap pemerintah Denmark terhadap masalah Spitzbergen yang diklaim oleh Norwegia dan masalah kedaulatan Greenland yang diklaim oleh Pemerintah Denmark sendiri, menurut Denmark saling ketergantungan. Dan ketergantungan ini juga dimunculkan dalam laporan M. Ihlen. Bahkan jika ketergantungan ini tidak terlaksana atau tidak ada maka tidak dapat disangkal bahwa apa yang diminta oleh Pemerintah Denmark sama halnya dengan klaim Norwegia atas Spitzbergen. Apa yang Denmark inginkan dari Norwegia seharusnya tidak menghalangi rencana Denmark yang berkaitan dengan Greenland. Deklarasi yang diberikan Menteri Luar Negeri Norwegia pada tanggal 22 Juli 1919, atas nama Pemerintah Norwegia, dengan pasti setuju : “ Saya berbicara dengan Kementerian Denmark hari ini, bahwa Pemerintah Norwegia tidak akan mempersulit penyelesaian masalah ini.”
Pengadilan mempertimbangkannya di luar dari semua sengketa bahwa jawaban yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri atas nama Pemerintahannya melalui perwakilan diplomatik bahwa Menlu memiliki kekuasaan ke luar dalam hal permasalahan yang berada di lingkup kekuasaannya akan mengikat negaranya.
Berdasarkan hal itu, sebagai hasil dari keikutsertaan dalam Deklarasi Ihlen tanggal 22 Juli 1919, Norwegia berkewajiban untuk menahan diri dalam hal menentang kedaulatan Denmark terhadap keseluruhan Greenland, dan untuk menahan diri dari pendudukan sebagian wilayah Denmark.[5]
Keterkaitan antara The Eastern Greenland Case dengan Vienna Conventions :
The Eastern Greenland Case ini berkaitan dengan Article 3 dari Vienna Convention 1969. Dalam pasal 3 Vienna Conventions 1969 dijelaskan bahwa “Perjanjian internasional yang tidak dalam bentuk tertulis, tidak akan mempengaruhi kekuatan hukum perjanjian tersebut, sehingga tetap berlaku mengikat.” Sehingga Deklarasi yang diberikan Menteri Luar Negeri Norwegia pada tanggal 22 Juli 1919, atas nama Pemerintah Norwegia, tetap berlaku dan mengikat.

Keterkaitan Non-Written Form dengan Buku Modern Treaty Law and Practice oleh Anthony Aust adalah :
Hukum Kebiasaan Internasional dan Non-Written Form terdiri atas 2 unsur, yaitu :
“A general convergence in the practice of states from which one can extract a norm (standard of conduct) and Opinio Juris - the belief by states that the norm is legally binding on them.”[6]
1.      Konvergensi umum dalam praktek negara yang dapat mengaplikasikan norma (standar perilaku).
2.      Pendapat Ahli Hukum yaitu keyakinan dengan menyatakan bahwa norma mengikat secara hukum pada mereka.
Sehingga, Non-Written Form dalam perjanjian Internasional, tetap diakui




[1] http://untreaty.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/1_1_1969.pdf
[2] ibid.
[3] http://misharahanafi.blogspot.com/
[4] ibid.
[5] ibid.
[6] See M. Shaw, International Law (4th edn, 1998). pp 54-77

Tugas 1 Hukum Perjanjian Internasional FH-UA 2013


Tugas Hukum Perjanjian Internasional

1. Berilah analisis terhadap Yurisprudensi ICJ (International Court of Justice) terkait dengan pengakuan subjek hukum internasional !
2. Apakah setiap pemberontak (insurgent) dapat disebut sebagai belligerent ?
3. Berilah contoh dari insurgent dan belligerent !
4. Buatlah resume dari buku Hukum Perjanjian Internasional hal 1-38 !

Jawaban          :
1. International Court of Justice tentang Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Kasus Posisi    :
Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia, berawal pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, ternyata Indonesa dan Malaysia bersama-sama memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. [1]
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh.

Pihak yang terlibat      : Indonesia dan Malaysia
Putusan ICJ                 : Terlampir
Yurisprudensi              :
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3]

2. Setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent karena untuk dapat diakui sebagai belligerent sebagai subjek hukum interbnasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Memiliki sebuah organisasi “pemerintahan” sendiri.
2.      Kekuatan militernya telah menduduki wilayah tertentu.
3.      Mempunyai kontrol efektif atas wilayah tersebut.
4.      Anggota militernya memiliki seragam dengan tanda-tanda khusus dengan peralatan militer yang cukup.
Memang, insurgent adalah awal mula pembentukan belligerent. Namun setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent jika belum memenuhi unsur-unsur tersebut.

3.         Contoh Insurgent :
Gerakan Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001.
Kelompok Taliban dibentuk pada tahun 1994 mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakistan. Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan kelompok ini karena kejahatannya terhadap warga negara Iran dan Afghanistan. Taliban melakukan berbagai aksi pelanggaran HAM di Afghanistan.[4]
Kelompok ini mendapat pengakuan diplomatik hanya dari tiga negara: Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi, serta pemerintah Republik Chechnya Ichkeria yang tidak diakui dunia. Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk Mullah Mohammed Omar, pemimpin gerakan ini, adalah mullah desa (pelajar yunior agama Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah di Pakistan. Gerakan ini terutama berasal dari Pashtun di Afganistan, serta Provinsi Perbatasan Barat Laut (North-West Frontier Province, NWFP) di Pakistan, dan juga mencakup banyak sukarelawan dari Arab, Eurasia, serta Asia Selatan.[5]
Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden yang juga dituduh Washington mendalangi serangan terhadap menara kembar WTC, New York pada tanggal 11 September 2001 bekerja sama dengan kubu Aliansi Utara. Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan November 2001 dengan secara mengejutkan sehingga pihak Taliban langsung keluar dari ibukota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika relatif cepat dan mudah menguasainya. Akan tetapi beberapa tahun setelahnya American Free Press mengungkapkan hal sebaliknya, yaitu keterlibatan CIA dan agen intelijen Israel, Mossad dalam peristiwa serangan 11 September 2001 hanyalah skenario untuk mengakuisisi negara-negara arab, dalam hal ini Irak dan Afghanistan.[6]

Contoh Belligerent :
Palestine Liberation Organisation atau disingkat (PLO) atau dapat disebut sebagai Organisasi Pembebasan Palestina adalah sebuah organisasi Palestina yang didirikan pada tahun 1964. Tujuan utama dari PLO adalah untuk menyuarakan aspirasi rakyat Palestina dalam jumlah besar yang hidup di tenda-tenda pengungsi di Lebanon.[7]
Sejak tahun 1967 tujuan utama dari PLO adalah dalam rangka menghancurkan negara Israel. Hal ini kemudian ditegaskan pada piagam PLO yang di buat di Kairo pada tanggal 10-17 Juli 1968 pada pertemuan Dewan Nasional Palestina, tujuan ini tertuang dalam Pasal 9 Piagam PLO.[8]
Palestine Liberation Organisation (PLO) pada mulanya dibentuk oleh Liga Arab pada tahun 1964. Akibatnya 1964-1967, PLO sebagian besar di bawah kendali negara-negara Arab. Namun, setelah perang enam hari pada tahun 1967, negara-negara Arab mengendalikan PLO sehingga akhirnya mereka banyak kehilangan legitimasi. Akhirnya,Yasir Arafat, dari organisasi al-Fatah, mengambil keuntungan dari kekosongan kekuasaan dan terpilih menjadi Ketua PLO pada tahun 1969 hingga meninggal pada tahun 2004. Organisasi ini mengusahakan sebuah negara Palestina di antara Laut Tengah dan Yordania.[9]
Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organisation (PLO) telah mendapat pengakuan dari dunia internasional. PLO mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB pada 1974 (Resolusi Sidang Umum no. 3237). Dengan pengakuan terhadap Negara Palestina, PBB mengubah status peninjau ini sehingga dimiliki oleh Palestina pada 1988 (Resolusi Sidang Umum no. 43/177.) Pada Juli 1998, Sidang Umum menerima sebuah resolusi baru (52/250) yang memberikan kepada Palestina hak-hak dan privilese tambahan, termasuk hak untuk ikut serta dalam perdebatan umum yang diadakan pada permulaan setiap sesi Sidang Umum, hak untuk menjawab, hak untuk ikut mensponsori resolusi dan hak untuk mengajukan keberatan atau pertanyaan yang berkaitan dengan pembicaraan dalam rapat (points of order) khususnya menyangkut masalah-masalah Palestina dan Timur Tengah.

4. Resume dari Buku Hukum Perjanjian Internasional (Damos) hal 1-38 :
BAB I PENDAHULUAN
A. Perkembangan Hukum Perjanjian Internasional di Indonesia
            Hukum Perjanjian Internasional sebagai cabang dari Hukum Internasional masih kurang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Beberapa orang berpendapat bahwa Ilmu Hukum Perjanjian Internasional, hanyalah untuk kalangan tertentu saja. Selain itu mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional juga belum termasuk dalam mata kuliah wajib nasional di beberapa Fakultas Hukum di Indonesia.
Dewasa ini, Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Indonesia semakin meningkat jumlahnya.[10] Hal ini disebabkan karena disiplin ilmu hukum di Indonesia memiliki keterlibatan yang erat terhadap perjanjian internasional. Seperi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, maupun Hukum ekonomi.
Seiring dengan pesatnya era globalisasi, perkembangan hukum internasional pun telah mengalami perubahan-perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek-subjek baru non-negara dan meningkatnya interaksi yang intensif antar subjek-subjek baru tersebut. Disebabkan oleh perubahan mendasar tersebut, semakin berpeluang lahirnya perkara-perkara hukum yang bersifat lintas negara. Sehingga hukum perjanjian internasional telah mengikat di semua sektor kehidupan manusia.
Globalisasi di bidang perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan pula pola hubungan yang lintas batas negara, sehingga mengharuskan adanya pemahaman terhadap hukum perjanjian internasional. Hukum Internasional juga telah menyediakan dasar hukum bagi perjanjian internasional seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional, Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional dan organisasi internasional, serta Konvensi Wina 1978 tentang suksesi negara terkait perjanjian internasional.
Indonesia belum atau tidak meratifikasi konvensi-konvensi ini, karena pada dasarnya konvensi-konvensi ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional sehingga akan tetap mengikat Indonesia dengan atau tanpa meratifikasinya. Sebagai contoh dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002.[11] Dengan ini, ratifikasi hanya bersifat formalitas saja dan sama sekali tidak akan mengubah sifat mengikat konvensi terhadap Indonesia.

B. Perkembangan Dasar Hukum Nasional tentang Perjanjian Internasional
            Sejak Kemerdekaan, hukum Indonesia telah mengatur secara umum tentang perjanjian internasional. Dalam UUD 1945, diatur satu pasal tentang perjanjian internasional pada pasal 11 yaitu :
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.”
Pada masa berlakunya UUD 1945 periode pertama (1945-1949), tercatat empat perjanjian internasioanal. Selain itu, pada periode ini, Indonesia juga sudah melakukan prosedur administratif dengan mendaftarkan perjanjian ke sekretaris Jendral PBB. Perjanjian Internasional pertama yang dibuat oleh Indonesia adalah Perjanjian Linggarjati.
            Pada tahun 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) juga memuat pasal tentang perjanjian internasional, yaitu pada pasal 175. Pada periode ini tercatat setidaknya satu perjanjian internasional yang dibuat oleh RIS, yaitu Additional Protocol to the Trade Agreement among RIS, Netherland and Italy.
            Pada tahun 1950, dalam UUDS juga memuat ketentuan tentang perjanjian internasional pada pasal 120. Selama periode ini, tercatat sekitar 150 perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Indonesia.
            Meskipun ketiga konstitusi tersebut memuat rumusan yang berbeda tentang perjanjian internasional, namun esensi pengaturannya tetaplah sama. Yaitu menekankan bahwa kewenangan membuat dan mengesahkan perjanjian internasional adalah di tangan presiden sebagai kepala negara dengan persetujuan DPR.
            Setahun setelah berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan surat No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960 yang berisi bahwa perjanjian internasional yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah mengandung materi sebagai berikut :
1.      Hal-hal politik yang mempengaruhi haluan politik luar negeri.
2.      Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri negara.
3.      Hal-hal yang menurut UUD harus diatur dengan undang-undang.
Gagasan untuk membuat undang-undang tentang perjanjian internasional akhirnya terwujud dengan adanya UU No. 37 tahun 1999 dengan karakteristik sebagai berikut :
a.       Praktis.
b.      Korektif.
c.       Non-Doctrinal.
d.      Non-Theoretical/Academic Basis.
Dalam amandemen ketiga, Pasal 11 UUD 1945 mendapat tambahan dua ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3). Namun tidak ada penjelasan formal tentang apa yang dimaksudkan dengan “perjanjian internasional lainnya”. Jimly Asshiddiqie mengartikannya sebagai persetujuan internasional yang berkenaan dengan pinjaman luar negeri yang berjangka panjang.[12]
Perubahan terhadap pasal 5 dan 20 UUD 1945 juga telah menimbulkan benturan yuridis, karena di satu pihak pembuatan perjanjian merupakan kekuasaan eksklusif Presiden dengan persetujuan DPR, namun di lain pihak pengesahan perjanjian dilakukan dengan undang-undang yang merupakan kekuasaan DPR.


BAB II Pengertian Perjanjian Internasional
A. Definisi Perjanjian Internasional
Terdapat beberapa perdebatan mengenai definisi perjanjian internasional, namun dari UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang telah diadopsi dari Konvensi Wina 1969 dan 1986 dengan beberapa modifikasi adalah sebagai berikut :
“Setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.”
Dari pengertian hukum ini terdapat beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus dipenuhi, antara lain :
1.      Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional.
2.      Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional.
3.      Perjanjian tersebut harus tunduk pada hukum internasional. (governed by international law).
UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional berupaya mengklarifikasi tentang pengertian governed by international law dengan menambahkan kalimat “serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Namun Prof. Ko Swan Sik menilai bahwa kalimat tambahan ini tidak diperlukan karena perbedaan hubungan publik dan perdata hanya dikenal di dalam hukum nasional dan belum dikenal dalam hukum internasional.[13]

B. Pengertian Perjanjian Internasional dan Perkembangannya di Indonesia
Setelah lahirnya UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian, namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “governed by international law” sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian ini pada hakikatnya tidak menciptakan kewajiban dan hubungan hukum.
            Dalam definisi tentang Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri, diindikasikan bahwa pemerintah RI dapat membuat perjanjian dengan pemberi pinjaman, yang dalam hal ini mungkin Bank Swasta Asing, Lembaga Keuangan Non-Pemerintah Asing, serta Lembaga Donor Swasta lainnya. Lembnaga-lembaga ini jelas bukan subjek hukum internasional dan dengan demikian perjanjian pinjaman dengan lembaga-lembaga ini bukan merupakan perjanjian yang menjadi lingkup UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

C. Kaitan Pengertian Perjanjian Internasional dan Nama (Nomenklatur) dalam Praktik Indonesia
Di sisi lain, terdapat kecenderungan pada publik di Indonesia untuk menggunakan parameter nomenklatur atau judul dokumen sebagai faktor penentu untuk menetapkan bahwa dokumen itu disebut sebagai perjanjian internasional. Pada Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960 dimaksudkan untuk membedakan perjanjian intenasional berdasarkan kriteria materi perjanjian sehingga dapat menyaring perjanjian-perjanjian yang perlu mendapatkan persetujuan DPR.
Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait, serta dampak politis dan hukum bagi para pihak tersebut. Adapun bentuk dan nama perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
a. Traktat (Treaty) adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang umumnya bersifat multilateral.
b. Konvensi (Convention) adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang bersifat multilateral.
c. Persetujuan (Agreement) adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat bilateral dengan substansi yang lebih kecil lingkupnya dibanding materi yang diatur dalam Treaty atau Convention.
d. Memorandum of Understanding adalah perjanjian yang tidak formal yang tidak membutuhkan prosedur yang ruwet serta “tidak terlalu mengikat”.
e. Pengaturan (Arrangement) adalah bentuk lain dari perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari suatu perjanjian yang telah ada.
f. Pertukaran Nota Diplomatik / Surat (Exchange of Notes/Letters) adalah suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi pemerintah masing-masing yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu.
g. Modus Vivendi adalah instrumen kesepakatan yang bersifat sementara dan informal.
h. Agreed Minutes/ Summary Records/Record of Discussion adalah suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan tentang hasil akhir atau hasil sementara dari suatu pertemuan teknis.
Sekalipun Konvensi Wina dan yurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai faktor penentu, perlu pula diperhatikan bahwa judul suatu perjanjian sangat dinamis dan memunculkan berbagai variasi. Walau judul dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan perjanjian internasional dimaksudkan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Meskipun dalam UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau nomenklatur, namun pada umumnya telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur tertentu untuk ruang lingkup materi tertentu.
Sehubungan dengan itu, maka perlu dilanjutkan proses yang berkesinambungan untuk memverifikasi dan menetapkan jenis perjanjian internasional.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan
[2] http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN, jointly notified to the Court on 2 November 1998
[3] Energy Security and Southeast Asia
[4] Susilo, Taufik Adi. Ensiklopedia Pengetahuan Dunia Abad 20. Javalitera. Yogyakarta 2010. Halaman 391
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Taliban
[6] American Free Press, http://www.americanfreepress.net/html/9-11_solved118.html
[7] Pasal 27 Piagam HAMAS.
[8] http://www.us-Israel.org/jsource/Terrorism/plo.html
[9] “Profil Terorist Organitation “Palestine Liberation Organitation (PLO)”, Lihat dalam; http://www.start.umd.edu
[10] Menurut catatan Treaty Room Deplu, sampai Desember 2009 telah tercatat sekitar 4000 perjanjian yang dibuat oleh Indonesia.
[11] ICJ Cas Concerning Soverignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, 17 December 2002 para 37.
[12] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, 2010 halaman 189
[13] Ko Swan Sik, “Beberapa Catatan atas Permasalahan Treaty di Indonesia”’ Jurnal Hukum Internasional, LPHI FH UI, Vol. 5, No. 3, April 2008, hlm. 434.

Islamic Law National Summit 2013 @Bank Syariah Mandiri