Tugas
Hukum Perjanjian Internasional
1.
Sebutkan dasar hukum yang memberikan ruang untuk hukum kebiasaan internasional
dalam Konvensi Wina !
2.
Sebutkan dasar hukum yang mengakui adanya Non-Wirtten Form dikaitkan dengan “The
Eastern Greenland Case” !
Jawaban
:
1.
Dasar Hukum yang memberikan keleluasaan hukum kebiasaan
internasional dalam Konvensi Wina:
Pada
“Pembukaan Konvensi Wina” :
“Affirming that the rules of customary international law will continue to govern questions
not regulated by the provisions of
the present Convention.”[1]
Disini
dijelaskan bahwa aturan-aturan
hukum kebiasaan internasional akan terus berlaku, meskipun tidak diatur secara tertulis
oleh ketentuan-ketentuan dari Konvensi Wina.
Disini terbukti bahwa Konvensi Wina memberikan ruang bagi Hukum
Kebiasaan Internasional untuk berlaku.
2.
Dasar Hukum yang mengakui adanya Non-Wirtten Form disebutkan pada Konvensi Wina
yaitu pada Pasal 3:
“Article 3
International agreements not within the scope
of the present Convention
The fact that the present
Convention does not apply to international agreements concluded between States
and other subjects of international law or between such other subjects of
international law, or to international
agreements not in written form,
shall not affect:
( a ) the
legal force of such agreements;
( b ) the application to them of any of the rules
set forth in the present Convention to which they would be subject under
international law independently of the Convention;
( c ) the application of the Convention to the
relations of States as between themselves under international agreements to
which other subjects of international la w are also parties.”[2]
Disini
dijelaskan pada Pasal 3 Konvensi Wina bahwa perjanjian internasional yang tidak
dalam bentuk tertulis, tidak akan mempengaruhi kekuatan
hukum perjanjian tersebut. Sehingga dengan kata lain, Konvensi Wina mengakui adanya “Non-Written Form” dan tetap berlaku mengikat.
The Eastern Greenland
Case
:
Kasus Posisi :
Pada
12 Juli 1919, Menteri Luar Negeri Norwegia, M. Ihlen, mengeluarkan deklarasi
bahwa Pemerintah Denmark tidak mempersoalkan klaim Norwegia atas Spitzbergen
dan Pemerintah Denmark memiliki kedaulatan penuh atas Greenland untuk
menjalankan kepentingan politik dan ekonomi di seluruh Greenland dan tidak akan
memperoleh kesulitan apapun dari Pemerintah Norwegia untuk menjalankan
kepentingan tersebut. Deklarasi ini dikenal dengan Deklarasi Ihlen.
Pada
tahun 1920, Pemerintah Denmark berusaha untuk mendapatkan jaminan atas
pengakuan kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland. Dalam negosiasi yang
terjadi antara Pemerintah Denmark, Swedia dan Norwegia di London, Paris, Roma
dan Tokyo, Pemerintah Denmark tidak mendapatkan kesulitan dalam negosiasi
tersebut dengan Pemerintah Swedia, akan tetapi lain halnya dengan negosiasi
yang dilakukan dengan Pemerintah Norwegia, karena Pemerintah Norwegia menuntut
agar Pemerintah Denmark tidak boleh mengintervensi kebebasan penduduk Norwegia
yang telah mereka nikmati saat ini. Yakni kebebasan berburu dan memancing ikan
di pantai timur (di luar batas daerah Angmagssalik). Namun Pemerintah Denmark
tidak bersedia mengabulkan tuntutan Pemerintah Norwegia ini dengan alasan, tuntutan
ini bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Denmark atas Greenland. Sampai
akhir 1921, hubungan diplomatik Pemerintah Denmark dan Norwegia menyangkut
Greenland terus dipertanyakan karena status Greenland yang tidak jelas. Hal ini
berlangsung selama 2 tahun.
Pada
tanggal 13 Juli 1923, Menteri Luar Negeri Denmark memberitahukan kepada
Pemerintah Denmark mengenai resolusi Pemerintah Norwegia yang mengajak
Pemerintah Denmark untuk melakukan negosiasi mengenai Greenland. Pemerintah
Denmark menerima resolusi yang dilakukan oleh Pemerintah Norwegia untuk
melakukan negosiasi mengenai Greenland.
Pada
bulan September 1923, negosiasi dimulai dan membahas mengenai pertanyaan umum
seputar Greenland, akan tetapi tidak dicapai kesepakatan dalam negosiasi ini.
Pada
tanggal 28 Januari 1924, negosiasi dilakukan lagi mengenai persetujuan konsep
kesepakatan yang direkomendasikan untuk diadopsi oleh masing-masing pihak.
Konsep ini terbagi atas dua, yaitu :
•
Dari Pemerintah Denmark
“
Denmark memiliki kedaulatan penuh atas seluruh Greenland yang harus diakui oleh
Norwegia.”
•
Dari Pemerintah Norwegia
“
Semua bagian Greenland yang tidak pernah dipakai dalam kondisi terra nullius
yaitu daerah yang secara efektif tidak berada di bawah administrasi Pemerintah
Denmark harus tunduk di bawah kedaulatan Norwegia.”
Pada
tanggal 9 Juli 1924, terjadi penandatanganan konvensi yang berlaku untuk
seluruh pantai timur Greenland kecuali di daerah Angmagssalik.
Pada
tahun 1925, Inggris dan Perancis meminta Pemerintah Denmark untuk memberikan
layanan ke Norwegia menyangkut beberapa daerah tertentu di Greenland timur yang
telah ditentukan oleh Pemerintah Denmark. Maka diadakan pertukaran dua dokumen
antara Norwegia dan Denmark. Dari adanya pertukaran dokumen tersebut,
Pemerintah Norwegia menyimpulkan bahwa Inggris dan Perancis mengetahui bahwa
Norwegia tidak mengakui kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland. Kesimpulan
yang ditarik oleh Pemerintah Norwegia ini tidak pernah diberitahukan pada
Pemerintah Denmark sehingga setelah pertukaran dokumen itu, Pemerintah Denmark
tidak pernah lagi mempertanyakan kedaulatannya atas pantai timur Greenland.
Pada
awal musim panas 1930, angkatan laut Norwegia diberi kekuasaan untuk melakukan
pemeriksaan atau pengawasan atas nama Norwegia tentang perburuan di daerah
pantai timur Greenland. Denmark menjadi gelisah atas tindakan yang dilakukan
oleh Pemerintah Norwegia ini dan memberikan maklumat pada Pemerintah Norwegia
secara tertulis pada tanggal 26 Desember 1930, bahwa Pemerintah Denmark tidak
menyetujui pemberian kewenangan terhadap angkatan laut Norwegia dalam melakukan
pengawasan di wilayah tertentu, di mana dalam pandangan Denmark, wilayah
tersebut merupakan wilayah Denmark.
Pada
tanggal 6 Januari 1931, Pemerintah Norwegia menjawab maklumat pemerintah Denmark
bahwa sesuai dengan kesepakatan 9 Juli 1924, daerah-daerah di Timur Greenland
adalah sebuah daerah terra nullius, sehingga Norwegia berhak sepenuhnya untuk
berinvestasi di wilayah tersebut.
Pada
tanggal 3 juli 1931, Denmark memberikan balasan atas jawaban pemerintah
Norwegia tersebut. Denmark menilai Norwegia telah melakukan tindakan yang
melebihi batas yang ditentukan dalam konvensi 1924, serta menilai bahwa
pemerintah Norwegia tidak konsisten menerapkan konvensi tersebut, yang
menyangkut kedaulatan penuh pemerintah Denmark atas seluruh Greenland. Denmark
mengusulkan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara damai ke PCIJ kepada
pemerintah Norwegia.
Pemerintah
Nowergia setuju, dan pada tanggal 1 Juli 1931 meminta agar Mahkamah harus
mengadili berdasarkan situasi dan keadaan serta hukum yang selama ini berlaku.
Pengadilan harus memutuskan bahwa kedaulatan atas Greenland belum diperoleh
Denmark.
Pada
tanggal 10 Juli 1931, dalam kutipan catatannya Pemerintah Denmark mengharapkan
perkara diperiksa sesuai dengan situasi dan keadaan serta hukum yang selama ini
berlaku. Mengenai permintaan Pemerintah Norwegia pada tanggal 1 Juli 1931
kepada Mahkamah, menurut Pemerintah Denmark merupakan tindakan sepihak
Pemerintah Norwegia dan mengharap tindakan tersebut tidak akan mempengaruhi
keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan.[3]
Pihak yang terlibat : Pemerintah Denmark dan Norwegia
·
Pemerintah Denmark, diwakili oleh M. de Scavenius, Menteri Denmark di Den Haag,
dan MK Steglich-Peterson, advokat di Mahkamah Agung Denmark.
·
Pemerintah Norwegia, diwakili oleh M. Jens Bull, Kanselor dari kedutaan, dan
oleh MM. Arne Sunde dan Per Rygh, advokat di Mahkamah Agung Norwegia.[4]
Yurisprudensi :
Penasehat
Denmark menyatakan bahwa Deklarasi Ihlen adalah bentuk pengakuan akan adanya
kedaulatan Denmark atas Greenland. Pengadilan tidak dapat menerima pandangan
ini. Pemeriksaan yang teliti yang dilakukan berdasarkan penggunaan kata-kata
yang digunakan, berdasarkan keadaan, dan berdasarkan perkembangan yang terjadi
selanjutnya menunjukkan bahwa M. Ihlen tidak bersungguh-sungguh untuk
memberikan pengakuan yang pasti atas kedaulatan Denmark terhadap Greenland, dan
juga menunjukkan bahwa M. Ihlen tidak memahami maksud Pemerintah Denmark.
Dalam
laporan M. Ihlen yang dilaporkan pada pemerintah Norwegia, tidak
dipermasalahkan oleh Pemerintah Denmark. Kalimat yang digunakan oleh Ihlen
dituliskan dalam bentuk future tense. Ne fera pas de difficulties. M. Ihlen
telah diberitahukan bahwa Pemerintah Denmark akan membawa masalah tersebut : dan
dua tahun kemudian, Pemerintah Denmark membuat permintaan berikutnya pada
Pemerintah Norwegia untuk memperoleh pengakuan yang Pemerintah Denmark inginkan
atas kedaulatan seluruh Greenland.
Walaupun
demikian, hal yang betul-betul harus dipertimbangkan adalah apakah Deklarasi
Ihlen, - meskipun tidak menetapkan pengakuan yang pasti akan kedaulatan Denmark
– tidak terdapat perjanjian yang pasti dari Norwegia untuk menahan diri
terhadap pendudukan sebagian wilayah Greenland.
Sikap
pemerintah Denmark terhadap masalah Spitzbergen yang diklaim oleh Norwegia dan
masalah kedaulatan Greenland yang diklaim oleh Pemerintah Denmark sendiri,
menurut Denmark saling ketergantungan. Dan ketergantungan ini juga dimunculkan
dalam laporan M. Ihlen. Bahkan jika ketergantungan ini tidak terlaksana atau
tidak ada maka tidak dapat disangkal bahwa apa yang diminta oleh Pemerintah
Denmark sama halnya dengan klaim Norwegia atas Spitzbergen. Apa yang Denmark
inginkan dari Norwegia seharusnya tidak menghalangi rencana Denmark yang berkaitan
dengan Greenland. Deklarasi yang
diberikan Menteri Luar Negeri Norwegia pada tanggal 22 Juli 1919, atas nama
Pemerintah Norwegia, dengan pasti setuju : “ Saya berbicara dengan Kementerian
Denmark hari ini, bahwa Pemerintah Norwegia tidak akan mempersulit penyelesaian
masalah ini.”
Pengadilan
mempertimbangkannya di luar dari semua sengketa bahwa jawaban yang diberikan
oleh Menteri Luar Negeri atas nama Pemerintahannya melalui perwakilan
diplomatik bahwa Menlu memiliki kekuasaan ke luar dalam hal permasalahan yang
berada di lingkup kekuasaannya akan mengikat negaranya.
Berdasarkan
hal itu, sebagai hasil dari keikutsertaan dalam Deklarasi Ihlen tanggal 22 Juli
1919, Norwegia berkewajiban untuk menahan diri dalam hal menentang kedaulatan
Denmark terhadap keseluruhan Greenland, dan untuk menahan diri dari pendudukan
sebagian wilayah Denmark.[5]
Keterkaitan antara The Eastern
Greenland Case dengan Vienna Conventions :
The Eastern Greenland Case
ini berkaitan dengan Article 3 dari Vienna Convention 1969. Dalam pasal 3 Vienna Conventions 1969 dijelaskan bahwa
“Perjanjian internasional yang tidak dalam bentuk tertulis, tidak akan mempengaruhi
kekuatan hukum perjanjian tersebut, sehingga tetap berlaku mengikat.” Sehingga Deklarasi yang diberikan Menteri Luar
Negeri Norwegia pada tanggal 22 Juli 1919, atas nama Pemerintah Norwegia, tetap berlaku dan mengikat.
Keterkaitan Non-Written Form dengan Buku Modern Treaty Law and Practice oleh
Anthony Aust adalah :
Hukum
Kebiasaan Internasional dan Non-Written
Form terdiri atas 2 unsur, yaitu :
“A general convergence in the
practice of states from which one can extract a norm (standard of conduct) and
Opinio Juris - the belief by states that the norm is legally binding on them.”[6]
1. Konvergensi umum
dalam praktek negara yang dapat mengaplikasikan norma (standar perilaku).
2. Pendapat Ahli Hukum yaitu keyakinan dengan menyatakan bahwa norma mengikat secara hukum pada mereka.
Sehingga,
Non-Written Form dalam perjanjian
Internasional, tetap diakui