Tugas
Hukum Perjanjian Internasional
1.
Berilah analisis terhadap Yurisprudensi ICJ (International Court of Justice) terkait
dengan pengakuan subjek hukum internasional !
2.
Apakah setiap pemberontak (insurgent) dapat disebut sebagai belligerent ?
3.
Berilah contoh dari insurgent dan belligerent !
4.
Buatlah resume dari buku Hukum Perjanjian Internasional hal 1-38 !
Jawaban
:
1.
International Court of Justice tentang Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Kasus
Posisi :
Sengketa
antara Indonesia dengan Malaysia, berawal pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, ternyata Indonesa dan Malaysia
bersama-sama memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas
wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam
keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak
Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia
karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia
sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam
status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki
sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Pada
tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN
untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN
akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa
dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh.
Pihak
yang terlibat : Indonesia dan
Malaysia
Putusan
ICJ : Terlampir
Yurisprudensi
:
Pada
tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian
pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus
sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim,
sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15
merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu,
kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta
penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu)
akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan
Indonesia di selat Makassar.
2.
Setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent
karena untuk dapat diakui sebagai belligerent sebagai subjek hukum
interbnasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Memiliki
sebuah organisasi “pemerintahan” sendiri.
2. Kekuatan
militernya telah menduduki wilayah tertentu.
3. Mempunyai
kontrol efektif atas wilayah tersebut.
4. Anggota
militernya memiliki seragam dengan tanda-tanda khusus dengan peralatan militer
yang cukup.
Memang,
insurgent adalah awal mula pembentukan belligerent. Namun setiap pemberontak
(insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent jika belum memenuhi unsur-unsur
tersebut.
3. Contoh Insurgent :
Gerakan
Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara
efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001.
Kelompok
Taliban dibentuk pada tahun 1994 mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan
Pakistan. Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan kelompok ini karena kejahatannya
terhadap warga negara Iran dan Afghanistan. Taliban melakukan berbagai aksi
pelanggaran HAM di Afghanistan.
Kelompok
ini mendapat pengakuan diplomatik hanya dari tiga negara: Uni Emirat Arab,
Pakistan, dan Arab Saudi, serta pemerintah Republik Chechnya Ichkeria yang
tidak diakui dunia. Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk
Mullah Mohammed Omar, pemimpin gerakan ini, adalah mullah desa (pelajar yunior
agama Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah di Pakistan. Gerakan ini
terutama berasal dari Pashtun di Afganistan, serta Provinsi Perbatasan Barat
Laut (North-West Frontier Province, NWFP) di Pakistan, dan juga mencakup banyak
sukarelawan dari Arab, Eurasia, serta Asia Selatan.
Pemerintahan
Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al
Qaeda Osama Bin Laden yang juga dituduh Washington mendalangi serangan terhadap
menara kembar WTC, New York pada tanggal 11 September 2001 bekerja sama dengan
kubu Aliansi Utara. Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan
November 2001 dengan secara mengejutkan sehingga pihak Taliban langsung keluar
dari ibukota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika relatif cepat dan mudah
menguasainya. Akan tetapi beberapa tahun setelahnya American Free Press
mengungkapkan hal sebaliknya, yaitu keterlibatan CIA dan agen intelijen Israel,
Mossad dalam peristiwa serangan 11 September 2001 hanyalah skenario untuk
mengakuisisi negara-negara arab, dalam hal ini Irak dan Afghanistan.
Contoh
Belligerent :
Palestine
Liberation Organisation atau disingkat (PLO) atau dapat disebut sebagai
Organisasi Pembebasan Palestina adalah sebuah organisasi Palestina yang didirikan
pada tahun 1964. Tujuan utama dari PLO adalah untuk menyuarakan aspirasi rakyat
Palestina dalam jumlah besar yang hidup di tenda-tenda pengungsi di Lebanon.
Sejak
tahun 1967 tujuan utama dari PLO adalah dalam rangka menghancurkan negara
Israel. Hal ini kemudian ditegaskan pada piagam PLO yang di buat di Kairo pada
tanggal 10-17 Juli 1968 pada pertemuan Dewan Nasional Palestina, tujuan ini
tertuang dalam Pasal 9 Piagam PLO.
Palestine
Liberation Organisation (PLO) pada mulanya dibentuk oleh Liga Arab pada tahun
1964. Akibatnya 1964-1967, PLO sebagian besar di bawah kendali negara-negara
Arab. Namun, setelah perang enam hari pada tahun 1967, negara-negara Arab
mengendalikan PLO sehingga akhirnya mereka banyak kehilangan legitimasi.
Akhirnya,Yasir Arafat, dari organisasi al-Fatah, mengambil keuntungan dari
kekosongan kekuasaan dan terpilih menjadi Ketua PLO pada tahun 1969 hingga
meninggal pada tahun 2004. Organisasi ini mengusahakan sebuah negara Palestina
di antara Laut Tengah dan Yordania.
Organisasi
Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organisation (PLO) telah
mendapat pengakuan dari dunia internasional. PLO mendapatkan status peninjau di
Sidang Umum PBB pada 1974 (Resolusi Sidang Umum no. 3237). Dengan pengakuan
terhadap Negara Palestina, PBB mengubah status peninjau ini sehingga dimiliki
oleh Palestina pada 1988 (Resolusi Sidang Umum no. 43/177.) Pada Juli 1998,
Sidang Umum menerima sebuah resolusi baru (52/250) yang memberikan kepada
Palestina hak-hak dan privilese tambahan, termasuk hak untuk ikut serta dalam
perdebatan umum yang diadakan pada permulaan setiap sesi Sidang Umum, hak untuk
menjawab, hak untuk ikut mensponsori resolusi dan hak untuk mengajukan
keberatan atau pertanyaan yang berkaitan dengan pembicaraan dalam rapat (points
of order) khususnya menyangkut masalah-masalah Palestina dan Timur Tengah.
4.
Resume dari Buku Hukum Perjanjian Internasional (Damos) hal 1-38 :
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Perkembangan Hukum Perjanjian Internasional di Indonesia
Hukum Perjanjian Internasional
sebagai cabang dari Hukum Internasional masih kurang populer di kalangan
masyarakat Indonesia. Beberapa orang berpendapat bahwa Ilmu Hukum Perjanjian
Internasional, hanyalah untuk kalangan tertentu saja. Selain itu mata kuliah
Hukum Perjanjian Internasional juga belum termasuk dalam mata kuliah wajib
nasional di beberapa Fakultas Hukum di Indonesia.
Dewasa
ini, Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Indonesia semakin meningkat
jumlahnya.
Hal ini disebabkan karena disiplin ilmu hukum di Indonesia memiliki
keterlibatan yang erat terhadap perjanjian internasional. Seperi Hukum Tata
Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, maupun Hukum ekonomi.
Seiring
dengan pesatnya era globalisasi, perkembangan hukum internasional pun telah
mengalami perubahan-perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek-subjek
baru non-negara dan meningkatnya interaksi yang intensif antar subjek-subjek
baru tersebut. Disebabkan oleh perubahan mendasar tersebut, semakin berpeluang
lahirnya perkara-perkara hukum yang bersifat lintas negara. Sehingga hukum
perjanjian internasional telah mengikat di semua sektor kehidupan manusia.
Globalisasi
di bidang perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan
pula pola hubungan yang lintas batas negara, sehingga mengharuskan adanya
pemahaman terhadap hukum perjanjian internasional. Hukum Internasional juga
telah menyediakan dasar hukum bagi perjanjian internasional seperti yang diatur
dalam Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional, Konvensi Wina 1986
tentang perjanjian internasional dan organisasi internasional, serta Konvensi Wina
1978 tentang suksesi negara terkait perjanjian internasional.
Indonesia
belum atau tidak meratifikasi konvensi-konvensi ini, karena pada dasarnya
konvensi-konvensi ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional
sehingga akan tetap mengikat Indonesia dengan atau tanpa meratifikasinya. Sebagai
contoh dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002. Dengan
ini, ratifikasi hanya bersifat formalitas saja dan sama sekali tidak akan
mengubah sifat mengikat konvensi terhadap Indonesia.
B.
Perkembangan Dasar Hukum Nasional tentang Perjanjian Internasional
Sejak Kemerdekaan, hukum Indonesia
telah mengatur secara umum tentang perjanjian internasional. Dalam UUD 1945,
diatur satu pasal tentang perjanjian internasional pada pasal 11 yaitu :
“Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan
negara lain.”
Pada
masa berlakunya UUD 1945 periode pertama (1945-1949), tercatat empat perjanjian
internasioanal. Selain itu, pada periode ini, Indonesia juga sudah melakukan
prosedur administratif dengan mendaftarkan perjanjian ke sekretaris Jendral
PBB. Perjanjian Internasional pertama yang dibuat oleh Indonesia adalah
Perjanjian Linggarjati.
Pada tahun 1949, Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) juga memuat pasal tentang perjanjian internasional,
yaitu pada pasal 175. Pada periode ini tercatat setidaknya satu perjanjian
internasional yang dibuat oleh RIS, yaitu Additional
Protocol to the Trade Agreement among RIS, Netherland and Italy.
Pada tahun 1950, dalam UUDS juga
memuat ketentuan tentang perjanjian internasional pada pasal 120. Selama
periode ini, tercatat sekitar 150 perjanjian internasional yang telah dibuat
oleh Indonesia.
Meskipun ketiga konstitusi tersebut
memuat rumusan yang berbeda tentang perjanjian internasional, namun esensi
pengaturannya tetaplah sama. Yaitu menekankan bahwa kewenangan membuat dan
mengesahkan perjanjian internasional adalah di tangan presiden sebagai kepala
negara dengan persetujuan DPR.
Setahun setelah berlakunya kembali
UUD 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan surat No. 2826/HK/1960 tertanggal 22
Agustus 1960 yang berisi bahwa perjanjian internasional yang harus disampaikan
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah mengandung materi sebagai
berikut :
1. Hal-hal
politik yang mempengaruhi haluan politik luar negeri.
2. Ikatan-ikatan
yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri
negara.
3. Hal-hal
yang menurut UUD harus diatur dengan undang-undang.
Gagasan
untuk membuat undang-undang tentang perjanjian internasional akhirnya terwujud
dengan adanya UU No. 37 tahun 1999 dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Praktis.
b. Korektif.
c. Non-Doctrinal.
d. Non-Theoretical/Academic Basis.
Dalam
amandemen ketiga, Pasal 11 UUD 1945 mendapat tambahan dua ayat yaitu ayat (2)
dan ayat (3). Namun tidak ada penjelasan formal tentang apa yang dimaksudkan
dengan “perjanjian internasional lainnya”. Jimly Asshiddiqie mengartikannya
sebagai persetujuan internasional yang berkenaan dengan pinjaman luar negeri
yang berjangka panjang.
Perubahan
terhadap pasal 5 dan 20 UUD 1945 juga telah menimbulkan benturan yuridis,
karena di satu pihak pembuatan perjanjian merupakan kekuasaan eksklusif
Presiden dengan persetujuan DPR, namun di lain pihak pengesahan perjanjian
dilakukan dengan undang-undang yang merupakan kekuasaan DPR.
BAB
II Pengertian Perjanjian Internasional
A.
Definisi Perjanjian Internasional
Terdapat
beberapa perdebatan mengenai definisi perjanjian internasional, namun dari UU
No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang telah diadopsi dari
Konvensi Wina 1969 dan 1986 dengan beberapa modifikasi adalah sebagai berikut :
“Setiap perjanjian di bidang hukum
publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan
negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.”
Dari
pengertian hukum ini terdapat beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus
dipenuhi, antara lain :
1. Perjanjian
tersebut harus berkarakter internasional.
2. Perjanjian
tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional.
3. Perjanjian
tersebut harus tunduk pada hukum internasional. (governed by international law).
UU
No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional berupaya mengklarifikasi tentang
pengertian governed by international law
dengan menambahkan kalimat “serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik”. Namun Prof. Ko Swan Sik menilai bahwa kalimat tambahan ini tidak
diperlukan karena perbedaan hubungan publik dan perdata hanya dikenal di dalam
hukum nasional dan belum dikenal dalam hukum internasional.
B.
Pengertian Perjanjian Internasional dan Perkembangannya di Indonesia
Setelah
lahirnya UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktik di
Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian, namun masih terdapat
kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “governed by international law” sehingga semua dokumen sepanjang
dibuat oleh pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap
sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian ini pada hakikatnya tidak
menciptakan kewajiban dan hubungan hukum.
Dalam definisi tentang Naskah
Perjanjian Pinjaman Luar Negeri, diindikasikan bahwa pemerintah RI dapat
membuat perjanjian dengan pemberi pinjaman, yang dalam hal ini mungkin Bank
Swasta Asing, Lembaga Keuangan Non-Pemerintah Asing, serta Lembaga Donor Swasta
lainnya. Lembnaga-lembaga ini jelas bukan subjek hukum internasional dan dengan
demikian perjanjian pinjaman dengan lembaga-lembaga ini bukan merupakan
perjanjian yang menjadi lingkup UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
C.
Kaitan Pengertian Perjanjian Internasional dan Nama (Nomenklatur) dalam Praktik
Indonesia
Di
sisi lain, terdapat kecenderungan pada publik di Indonesia untuk menggunakan
parameter nomenklatur atau judul dokumen sebagai faktor penentu untuk
menetapkan bahwa dokumen itu disebut sebagai perjanjian internasional. Pada
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960 dimaksudkan untuk membedakan
perjanjian intenasional berdasarkan kriteria materi perjanjian sehingga dapat
menyaring perjanjian-perjanjian yang perlu mendapatkan persetujuan DPR.
Penggunaan
suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya
menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait, serta dampak politis dan
hukum bagi para pihak tersebut. Adapun bentuk dan nama perjanjian internasional
adalah sebagai berikut :
a.
Traktat (Treaty) adalah bentuk
perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang
mengikat negara secara menyeluruh yang umumnya bersifat multilateral.
b.
Konvensi (Convention) adalah bentuk
perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang
bersifat multilateral.
c.
Persetujuan (Agreement) adalah bentuk
perjanjian internasional yang umumnya bersifat bilateral dengan substansi yang
lebih kecil lingkupnya dibanding materi yang diatur dalam Treaty atau Convention.
d.
Memorandum of Understanding adalah
perjanjian yang tidak formal yang tidak membutuhkan prosedur yang ruwet serta
“tidak terlalu mengikat”.
e.
Pengaturan (Arrangement) adalah
bentuk lain dari perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari suatu
perjanjian yang telah ada.
f.
Pertukaran Nota Diplomatik / Surat (Exchange
of Notes/Letters) adalah suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan
resmi posisi pemerintah masing-masing yang telah disetujui bersama mengenai
suatu masalah tertentu.
g.
Modus Vivendi adalah instrumen
kesepakatan yang bersifat sementara dan informal.
h.
Agreed Minutes/ Summary Records/Record of
Discussion adalah suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan
tentang hasil akhir atau hasil sementara dari suatu pertemuan teknis.
Sekalipun
Konvensi Wina dan yurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai faktor
penentu, perlu pula diperhatikan bahwa judul suatu perjanjian sangat dinamis
dan memunculkan berbagai variasi. Walau judul dapat beragam, namun apabila
ditelaah lebih lanjut, pengelompokan perjanjian internasional dimaksudkan untuk
menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Meskipun dalam UU No.24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau nomenklatur,
namun pada umumnya telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur
tertentu untuk ruang lingkup materi tertentu.
Sehubungan
dengan itu, maka perlu dilanjutkan proses yang berkesinambungan untuk
memverifikasi dan menetapkan jenis perjanjian internasional.